Select Menu

Random post

Animalia

Evolusi

Genetika

Pertumbuhan Tumbuhan

info

» » Siti Fadhillah, Tahu Dibalik Konspirasi Flu Burung

Bu DR. Siti Fadhillah Supari adalah Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2004-2009. Beliau juga merupakan adik mantan dosen saya di FKIP Biologi UNS Surakarta, Ibu Dra. Hj. Alvie Rosyidi, M.Pd. Beliau terkenal sebagai menteri kesehatan yang cerdas, cekatan, merakyat, peduli, dan profesional. Saya mendukung pribadi-pribadi Indonesia yang cerdas dan tegas seperti beliau. Terbukti beliau telah menggegerkan WHO tentang kasus Flu Burung yang melanda negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Berikut artikel tentang berita kegigihan beliau memperjuangkan idealismenya.


Buku Menkes yang berjudul “Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung” mendapat tekanan dari Negara-negara Barat dan WHO, karena isinya dianggap telah menyinggung atau menyerang kepentingan Negara-negara Barat, edisi dalam Bahasa Inggrisnya yang 1.000 eksemplar diisukan harus ditarik dari peredaran (kenyataannya buku tersebut telah laris dan tak jadi ditarik).

Buku tersebut mendapat tanggapan luar biasa dari media Negara-negara Barat, mereka menulis bahwa dalam buku itu Siti Fadillah mengurai konspirasi Barat dalam menggunakan sample flu burung. Mereka yang terlibat adalah AS dan WHO yang memanfaatkan virus flu burung sebagai senjata biologis.

Menkes membantah bahwa dalam tulisannya tidak ada kata-kata US government yang akan membuat senjata biologi dari virus flu burung, juga tidak menuduh negarapun termasuk AS.

Latar belakang Menkes membuat buku tersebut karena saat melihat ketamakan Negara maju dalam penanganan virus flu burung. Motif ekonomi telah membunuh hati nurani dan kemanusiaan, selanjutnya menkes menjelaskan bahwa bahwa perlakuan Negara-negara maju terhadap Negara yang terinfeksi flu burung dengan mengambil keuntungan dari penelitian terhadap sample virus H5N1.

Kita tahu bahwa tingkat penularan virus flu burung tergolong cepat, seandainya ini terjadi pada manusia tentu akan sangat membahayakan kehidupan manusia. Oleh karena itu para ilmuwan berlomba mencari penangkalnya.

Penangkal satu-satunya yang dianggap dapat mencegah penularan virus dari manusia ke manusia adalah tamiflu atau nama generiknya oseltamivir. Indonesia sebagai Negara yang banyak terserang virus ini bermaksud memesan tamiflu dengan uang yang susash payah dikumpulkannya. Namun sayang sekali tamiflu yang sudah dipesan ternyata habis, itupun dibeli oleh Negara-negara maju yang tidak terserang oleh virus flu burung.

Keberanian Menkes Siti Fadillah Supari patut diacungi jempol walaupun mendapat tekanan dari Negara Barat dan WHO, Menkes tetap akan mempertahankan kebebasan berpendapatnya sekaligus memperjuangkan hak-hak Negara-negara berkembang dalam penanganan virus agar lebih adil. Ini akan dibuktikannya dengan mencetak ulang sebanyak 3000 eksemplar, masing-masing 1500 untuk edisi Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Ayo kita dukung Ibu Menkes, Ayo Bangkit Kesehatan Indonesia.

“Ternyata kapitalisme tidak saja mengeksplorasi kekayaan alam negara sedang berkembang, tetapi juga mengeksploitasi kekayaan tubuh manusia dari bangsa-bangsa yang tidak berdaya. Mereka mengambil darah kita, mereka mengambil sel-sel tubuh kita, dan mengambil antibodi kita. Yang paling berbahaya, mereka telah mengambil sel-sel otak kita untuk direkayasa dengan cara berpikir mereka sehingga kita nurut saja apa saja perintahnya,” kata Menkes

Itulah salah satu petikan dari Ibu Menkes Siti Fadilah Supari pada Harian Kompas, 30 Nov 2007, ketika berpidato pada sidang Inter-Govermental Meeting on Pandemic Influenza Preparedness atau IGM-PIP yang berlangsung 20-23 November 2007

Betapa perkasanya ucapan diatas yang diucapakan diforum yang dihadiri juga oleh negara-negara kapitalis padahal hampir saja Ibu Menkes tidak diberi kesempatan karena terlambat menghadiri sidang. Lho, kenapa terlambat Bu Mentri, ini dia petikannya dari Kompas …

Bandara Cointrin, Geneva, Swiss, 20 November 2007. Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari baru tiba pagi itu di Geneva pukul 09.30. Padahal, pukul 10.00 Menkes harus berpidato pada sidang Inter-Govermental Meeting on Pandemic Influenza Preparedness atau IGM-PIP yang berlangsung 20-23 November 2007. Hanya tinggal tersisa waktu 30 menit.

Seharusnya Menkes sudah tiba di Geneva tanggal 19 November 2007 pukul 19.00 dengan pesawat British Airways dari Teheran, Iran, tetapi penerbangan tersebut tertunda. Maka, Menkes pun terbang ke Geneva dengan menumpang pesawat Lufthansa sehingga harus transit dulu ke Frankfurt, Jerman, baru ke Geneva.

Tanpa mandi dan hanya berganti baju, Menkes segera bergegas ke Palais des nation untuk bergabung dengan delegasi Indonesia. Sidang yang dilakukan di salle XVII itu sudah dimulai 10 menit sebelumnya. Penetapan pimpinan sidang (chairman) dan co chairman serta agenda sidang sudah mulai dan diketok palu, artinya Menkes tidak mendapat kuota waktu untuk bicara dengan alasan delegasi Indonesia belum sempat bicara secara formal dengan Jane Halton, pimpinan sidang.

“Delegasi kita mengerti dari wajah saya yang mungkin agak marah/kecewa. Lalu kami langsung intervensi sidang dengan mengangkat flag Indonesia. Kami ingin menyampaikan mengapa kami ada di sini,” papar Menkes Siti Fadilah.

Wah hebatnya Bu Menkes ini, kalau nggak ngotot mana mungkin bisa tampil di forum Internasional tersebut. Ini harus di contoh oleh menteri-menteri yang lain demi kepentingan bangsa dan negara serta memperjuangkan kesejahteraan rakyat harus tampil ngotot dan All-Out.

Apa yang disampaikan Ibu Menkes ini pun sangat berarti dan menjadi pembahasan penting dalam forum tersebut, yang mampu membuka mata negara-negara lain termasuk negara kapitalis, untuk bertidak adil, ini dia petikan berikutnya …

Saat diberi kesempatan untuk berpidato oleh Jane Halton, Menkes pun segera memaparkan pidatonya yang sangat keras mengkritik praktik neokolonialistis dalam bidang kesehatan. Ia mengkritik cara-cara Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam virus sharing (pengiriman virus dari negara yang terkena outbreak flu burung) yang tidak adil, tidak transparan, dan tak setara.

Menurut Menkes, dasar pemikiran kapitalistis mestinya tidak berlaku lagi bila dunia ini menghadapi global health security. “Ternyata kapitalisme tidak saja mengeksplorasi kekayaan alam negara sedang berkembang, tetapi juga mengeksploitasi kekayaan tubuh manusia dari bangsa-bangsa yang tidak berdaya. Mereka mengambil darah kita, mereka mengambil sel-sel tubuh kita, dan mengambil antibodi kita. Yang paling berbahaya, mereka telah mengambil sel-sel otak kita untuk direkayasa dengan cara berpikir mereka sehingga kita nurut saja apa saja perintahnya,” kata Menkes.

Ketidak-jelasan sistem atau yang lebih tepat ketidak-adilan yang diterpakan oleh WHO dan negara kapitalis atas negara berkembang disampaikan pula oleh Menkes. Ini menjadi contoh bahwa ketidak-adilan yang diterima negera berkembang harus disuarkan dengan lantang di berbagai forum sehingga negara-negara berkembang akan memperoleh haknya secara adil dan transparan. Dibawah ini petikannya :

Saat di Indonesia mulai jatuh korban manusia karena diduga terinfeksi virus avian influenza H5N1 (flu burung), WHO meminta Pemerintah Indonesia mengirimkan spesimen virus pasien tersebut kepada WHO Collaborating Centre (WHOCC) untuk konfirmasi, selain spesimen tersebut juga diperiksa di laboratorium Badan Penelitian dan Pengembangan Depkes. Pengiriman spesimen virus ke lab WHO itu pun tanpa menggunakan Material Transfer Agreement (MTA).

Pemerintah Indonesia tanpa prasangka apa pun mengirimkan spesimen virus pasien yang diduga terinfeksi flu burung tersebut kepada WHOCC. “Kami berpikir positif itu untuk kepentingan kesehatan masyarakat,” kata Menkes.

Inilah salah satu yang harus diperbaiki dari sifat Bangsa Indonesia : “berpikir positip” atau “tanpa prasangka” telah melupakan sifat waspada, sehingga kita dibodohi oleh bangsa lain, kita lengah artinya di jajah. Ingat bangsa Indonesia telah dijajah 350 tahun oleh Belanda dan 3,5 tahun oleh Jepang akibat kebaikan bangsa Indonesia yang disalah-gunakan. Akibat lengah apa yang kita peroleh, ni petikannya …

Akan tetapi, kenyataannya dengan mekanisme Global Influenza Surveilance Network (GISN) virus yang diperoleh dari negara-negara sedang berkembang yang dikirim ke WHO untuk kepentingan kesehatan masyarakat tersebut kemudian tiba-tiba diperdagangkan sebagai vaksin oleh negara maju, termasuk Amerika Serikat.

Bahkan, dari website Los Alamos National Laboratory (LANL) di New Mexico, sebuah laboratorium di bawah Departement of Energy’s National Nuclear Security Administration, Amerika Serikat, didapat informasi bahwa mereka kini tengah meneliti virus H5N1. Padahal, lab Los Alamos inilah yang merekayasa bom atom Hiroshima Nagasaki di Jepang pada tahun 1945!

Ini menimbulkan pertanyaan bagaimana data sequence virus H5N1 bisa berada di sana dan untuk apa? Mengapa berada di laboratorium Departemen Energi, bukan di laboratorium Departemen Kesehatan? Banyak pertanyaan yang berkecamuk. Ini harus dijelaskan oleh WHO.

Sementara banyak negara sedang berkembang termasuk Pemerintah Indonesia tidak tahu ke mana larinya virus yang mereka kirimkan. Tiba-tiba virus strain Indonesia bisa sampai ke perusahaan farmasi dan menjadi vaksin melalui rekayasa teknologi.

Bagaimana mungkin virus orang direkayasa dengan teknologi perusahaan farmasi lalu menjadi milik perusahaan farmasi tersebut. Ada klaim bahwa dengan teknologi perusahaan farmasi, wild virus strain Indonesia menjadi seed virus strain Indonesia, sementara teknologinya sudah dipatenkan sehingga seed virus-nya menjadi milik perusahaan farmasi.

“Lho siapa yang mengutak-atik virus saya sehingga saya kehilangan wild virus yang notabene saya kirim ke WHOCC?” kata Menkes. Hal-hal “aneh” seperti inilah yang ingin diketahui negara-negara pemilik virus.

Pidato Menkes Siti Fadilah Supari yang keras ini membuka mata banyak negara yang hadir pada sidang tersebut. “Mata dunia menjadi terbuka bahwa organisasi besar seperti WHO ternyata adalah perpanjangan tangan Amerika Serikat dan negara-negara industri yang memperkaya dirinya melalui persoalan kesehatan umat manusia. Hal seperti ini tidak boleh terjadi seharusnya,” kata Menkes.

Menuntut keadilan

Vaksin yang ditawarkan kepada negara sedang berkembang dengan harga tinggi inilah yang memicu kemarahan delegasi Indonesia. Bagaimana mungkin negara pemilik virus tidak tahu-menahu ke mana larinya virus yang mereka kirimkan ke WHOCC, kini tiba-tiba disodori vaksin dengan harga tinggi.

Artinya telah terjadi proses pembodohan pada negara-negara sedang berkembang. Cara-cara yang dilakukan WHO dinilai tidak adil, tidak transparan, dan memperlakukan negara-negara sedang berkembang secara tidak setara.

Nah kan baru sadar ada pembodohan, penyesalan datang kemudian namun mudah-mudah ada pelajaran berharga yaitu menjadi bangsa yang tidak mudah dan tidak mau dibodohi.

Sistem seperti inilah yang perlu direformasi. Sementara belum ada sistem yang adil, jelas, transparan, dan setara, Menkes menyatakan tidak perlu bicara soal benefit sharing terlebih dahulu. Yang harus dibenahi terlebih dulu adalah sistem virus sharing-nya.

Sidang IGM-PIP akhirnya mengakui bahwa sistem internasional virus sharing yang telah berlangsung selama 50 tahun ini dirasakan tidak adil, tidak transparan, dan tidak setara serta menciptakan ketidakpercayaan masyarakat global. Dalam kaitan itu, sidang IGM-PIP menyetujui usulan Indonesia untuk membangun mekanisme virus sharing dan benefit sharing yang adil, transparan, dan setara bagi negara-negara berkembang.


Sumber:
http://ayobangkitindonesiaku.wordpress.com

Photobucket

About Sultan Budi Lenggono

Budi Lenggono, S.Pd. sebagai admin blog ini adalah seorang guru Biologi di SMA Islam Terpadu (SMA IT) Nur Hidayah. Alamat di Jl. Pandawa 10 Pucangan, Kartasura, Sukoharjo. Selain itu, beliau juga seorang trainer dan hipnoterapis profesional (Certified Hypnoterapist; Master of Clinical Hypnotherapy). Web lainnya : www.sultanbudilenggono.com
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

1 comments