Beberapa umat Islam banyak yang menolak teori evolusi, itu didasari
dari kesalahpahaman mereka tentang teori evolusi. Kita tidak tahu apakah Darwin sudah mengenal Islam masa itu atau belum. Darwin sendiri
meragukan keberadaan Tuhan, dia seorang agnostik. Tetapi, kita tahu orang
tuanya bukan beragama Islam, kita tahu dia tidak mengenal Islam pada zamannya. Mungkin, jika dia belajar Islam pasti dia akan menganut agama
tersebut. Salah satu kesalahpahaman tentang evolusi adalah dengan
dikatakannya oleh para creationis bahwa manusia itu dari kera. Itu
adalah kesalahan yang fatal. Untuk mengetahuinya kita bahas dulu apa itu
evolusi.
Menurut wikipedia : Evolusi
(dalam kajian biologi) berarti perubahan pada sifat-sifat terwariskan
suatu populasi organisme dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Perubahan-perubahan ini disebabkan oleh kombinasi tiga proses utama:
variasi, reproduksi, dan seleksi. Sifat-sifat yang menjadi dasar evolusi
ini dibawa oleh gen yang diwariskan kepada keturunan suatu makhluk
hidup dan menjadi bervariasi dalam suatu populasi. Ketika organisme
bereproduksi, keturunannya akan mempunyai sifat-sifat yang baru. Sifat
baru dapat diperoleh dari perubahan gen akibat mutasi ataupun transfer
gen antar populasi dan antar spesies. Pada spesies yang bereproduksi
secara seksual, kombinasi gen yang baru juga dihasilkan oleh rekombinasi
genetika, yang dapat meningkatkan variasi antara organisme. Evolusi
terjadi ketika perbedaan-perbedaan terwariskan ini menjadi lebih umum
atau langka dalam suatu populasi.
Itulah pengertian dari
evolusi. Mungkin, dikarenakan pada zaman dahulu tidak mengenal istilah
dari evolusi tapi istilah lain yang mirip pengertiannya dengan evolusi. Makanya, beberapa creationis tidak mengetahui bahwa orang-orang sebelum Darwin sudah mengemukakannya, dengan inti pembahasan yang sama dengan
teori evolusi seperti saat sekarang ini yaitu Penciptaan secara
bertahap. Sebelum Darwin, evolusi sudah dikemukakan oleh beberapa ahli
filsafat Yunani kuno, baru setelah itu diikuti oleh berbagai
ilmuwan-ilmuwan muslim terkenal, salah satunya Ibn Khaldun.
Abu
Utsman Amr atau Al-Jahiz, seorang ilmuwan muslim abad 9, dalam Kitab
Al-Hayawan (buku hewan) telah menjelaskan teori survival sebagai dasar
dari mekanisme evolusi dan seleksi alam. Al-Jahiz berpendapat bahwa
suatu species akan beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang berbeda
dan akhirnya melahirkan species baru. Species yang tidak dapat
beradaptasi akan punah, dan yang beradaptasi akan sukses melanjutkan
keturunanannya.
Al-Jahiz juga telah melakukan pembahasan mengenai rantai makanan dalam sebuah ekosistem.
Ibnu
Miskawayh, seorang ilmuwan muslim di abad 10, bahkan menjelaskan teori
evolusi dengan sangat mendetail dan mengkombinasikannya dengan
metafisika sebagai sebuah siklus "Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Roojiun/
Sesungguhnya kita dari Allah dan kepada-Nya kita kembali". Dari Allah,
bahwa mula-mula Allah menciptakan zat, kemudian zat itu berevolusi
menjadi gas, gas berevolusi menjadi air, air berevolusi menjadi mineral,
mineral berevolusi menjadi tumbuhan (Bisa di cek pada
surat Nuh), tumbuhan berevolusi menjadi hewan, hewan berevolusi menjadi
manusia, manusia berevolusi menjadi nabi, nabi berevolusi menjadi
malaikat, dan malaikat akhirnya kembali kepada Allah.
Pandangan
mengenai evolusi biologi yang berlanjut ke evolusi spiritual ini begitu
populer di abad pertengahan, hingga kita bisa menemukannya pada
syair-syair Jalaluddin Rumi yang hidup di abad 13, seperti berikut:
Aku
mati sebagai mineral dan menjelma tumbuhan,
Aku mati sebagai tumbuhan dan terlahir binatang,
Aku mati sebagai binatang dan kini manusia. Kenapa aku mesti takut?
Aku mati sebagai tumbuhan dan terlahir binatang,
Aku mati sebagai binatang dan kini manusia. Kenapa aku mesti takut?
Maut tak menyebabkanku berkurang!
Namun sekali lagi aku harus mati sebagai manusia,
Namun sekali lagi aku harus mati sebagai manusia,
Dan melambung bersama malaikat; dan bahkan setelah menjelma malaikat
aku harus mati lagi; segalanya kecuali Tuhan, akan lenyap sama sekali.
Apabila telah kukorbankan jiwa malaikat ini, Aku akan menjelma sesuatu yang tak terpahami.
O,..biarlah diriku tak ada!
Sebab ketiadaan menyanyikan nada-nada suci,
“Kepada-Nya kita akan kembali.”
Sebab ketiadaan menyanyikan nada-nada suci,
“Kepada-Nya kita akan kembali.”
Ilmuwan
muslim lainnya yang banyak membahas evolusi adalah Nasiruddin At-Tusi
yang hidup di abad 13. Beliau menyatakan pendapatnya mengenai adaptasi
makhluk hidup yang membuat setiap organ mereka menjadi fit dengan
lingkungannya. Tusi mencontohkan mekanisme pertahanan pada beberapa
hewan (tanduk, cakar, kecepatan bergerak) sebagai bukti bahwa mereka
menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Tusi juga berpendapat
bahwa makhluk hidup yang beradaptasi lebih cepat akan memiliki lebih
banyak variasi species. Dan akhirnya akan memiliki keunggulan
dibandingkan makhluk hidup lain yang lambat dalam beradaptasi.
Ilmuwan
lainnya yang tersisa di akhir-akhir zaman keemasan Islam juga masih
berbicara mengenai evolusi, seperti Ibnu Khaldun yang hidup di abad 14.
Dalam kitab pembukaannya, Muqaddimah, Ibnu Khaldun menjelaskan teori
evolusinya yang juga senada dengan teori-teori sebelumnya, berawal dari
mineral yang berevolusi menjadi tumbuhan, kemudian hewan, dan manusia.
Ibnu Khaldun menyebut secara eksplisit evolusi manusia dari makhluk yang
lebih rendah yaitu sejenis kera.
Setelah kekalahan islam,
barulah islam mulai menolak teori evolusi yang dibawa Darwin hanya
karena Darwin mengatakan kehidupan muncul dengan sendirinya melalui
kecelakaan atau kebetulan, padahal inti dari teori evolusi adalah
perubahan suatu organisme secara bertahap.
Kembali pada
para ilmua muslim pada zaman kejayaan islam, kita melihat adanya
keanehan, jika Evolusi bertentangan dengan Al-Quran apakah tidak aneh
kalau para ilmuan muslim tersebut masih beragama islam pada saat itu?
Dan apakah tidak aneh kalau dia tidak dianggap sebagai penghina Nabi
Adam? Kenapa hal itu bisa terjadi. Tidak lain penyebabnya pastilah
ucapan mereka tidak bertentangan sama sekali dengan Ayat Al-Quran. Mari
kita lihat apa yang dikatakan Al-Quran didalam surat Nuh:
Ada
...apa dengan kamu bahwa kamu tak mengharap kebesaran dari Allah? Dan
sesungguhnya Ia telah menciptakan kamu dengan berbagai tingkatan. Apakah
engkau tak melihat bagaimana Allah menciptakan tujuh langit sama? Dan
di sana Ia membuat bulan sebagai cahaya, dan membuat matahari sebagai
lampu. Dan Allah telah menumbuhkan kamu dari bumi sebagai
tumbuh-tumbuhan (Dari asal kata Nabatun, berarti Tumbuh-tumbuhan) (Nuh
Ayat 13-17)
Lihat kalimat yang mengatakan "Ia telah menciptakan
kamu dengan berbagai tingkatan" Tak sangsi lagi bahwa ayat ini
menerangkan evolusi manusia. Pada umumnya para mufassir berpendapat,
bahwa ayat ini mengisyaratkan berbagai keadaan yang dialami oleh bayi
selama dalam rahim ibu. Tetapi ayat ini berarti sempurnanya keadaan
jasmani manusia sekarang ini setelah mengalami berbagai keadaan, ini
dijelaskan oleh ayat 17 berikutnya yang menerangkan bahwa pertumbuhan
manusia pada tingkat permulaan itu seperti tumbuh-tumbuhan yang keluar
dari bumi. Hendaklah diingat bahwa di sini manusia digambarkan sebagai
tumbuh- tumbuhan yang keluar dari bumi, artinya melalui proses
perkembangan tahap demi tahap. Bahkan dalam proses kejadian, yang kita
saksikan sehari-hari, ini pun melalui proses tahap demi tahap. Segala
macam tanaman tumbuh dari bumi. Dari tanaman ini manusia mendapat
makanan, dan dari makanan yang ia makan, dihasilkan benih manusia, yang
selanjutnya mengalami pula proses perkembangan (tahap demi tahap).
Tetapi kemungkinan besar bahwa pertumbuhan di sini, dan
tingkatan-tingkatan yang disebutkan dalam ayat 14 itu, mengisyaratkan
proses perkembangan besar yang dialami oleh semua manusia hingga ia
mencapai tingkatan jasmani yang sempurna seperti sekarang ini. Ingat
juga diayat lain Allah menerangkan semua kehidupan bermula dari air..
kita ingat dari air lah mulai nya tumbuhan seperti lumut, dari lumut
merubah bebatuan menjadi lapuk dan berubah menjadi tanah nah disanalah
awal manusia dari tumbuhan tersebut.
Bagaimana dengan Adam?
Di
dalam Al-Qur’an manusia pertama memang tidak diungkap secara eksplisit.
Tampaknya, mengurai asal-usul manusia pertama bukanlah tema substantif
al-Qur’an.
Seperti yang kita tau, Manusia modern pertama atau yang
disebut Homo Sapien bermula dari Afrika baru selanjutnya menyebar
keseluruh dunia. Apakah Homo aspen tersebut yang bernama adam? Tapi
kalau dilihat dari segi bahasa, Homo sapien dan adam memiliki arti yang
sama, kata adam berasal dari bahasa aram kuno yang berarti manusia atau
yang kita kenal manusia modern, sedangkan kata Homo sapien sendiri juga
berarti Manusia modern
Adam sebagai Khalifah
Substansi
dari dialog dengan malaikat (Q.s. al-Baqarah: 30-31 ) adalah penegasan
bahwa sesungguhnya Allah sebagai Pencipta atau Penjadi khalifah di muka
bumi ini. Kata “jaa`ilun” sebagai konstruksi isim fa`il yang berarti
subyek pelaku dalam frasa Innii jaa’ilun fi al-ardhi khaliifah tidak
harus diartikan “hendak menjadikan khalifah di muka bumi”. Seandainya
arti ini yang dipahami, maka tidak ada khalifah sebelum Adam.
Konseksuensi logisnya, Adam adalah manusia pertama.
Seandainya
frasa tersebut dikembalikan pada makna asalnya sebagai isim fa‘il, maka
hal itu mengisyaratkan bahwa Allah—sebelum atau sesudah terjadinya
dialog dengan malaikat sebagaimana yang termaktub dalam ayat
tersebut—selalu menjadikan khalifah di muka bumi. Dengan demikian, Adam
bukanlah khalifah yang pertama dan bukan pula manusia yang pertama yang
diciptakan Allah.
Kemudian, ayat-ayat tersebut memunculkan wacana
bahwa seolah-olah malaikat mempunyai pengalaman mengamat-amati sepak
terjang sang khalifah. Tampaknya malaikat khawatir akan masa depan
khalifah baru yang bernama Adam itu, seandainya perilaku destruktif akan
menghancurkan tatanan taqdis dan tasbih malaikat. Kita hanya bisa
menduga-duga kategori khalifah yang seperti apakah yang telah (dan akan)
melakukan perbuatan tercela itu. Tidak ada keterangan yang jelas
perihal khalifah versi malaikat yang dimaksud. Al-Qur’an dalam Q.s.
Shaad: 67-73 dengan tegas menyatakan untuk tidak memperpanjang
bantah-bantahan ini.
Ada riwayat yang mengasumsikan bahwa
iblis atau jin sebagai khalifah sebelum Adam. Qatadah, Ibnu Umar dan
Ibnu Abbas menduga, bahwa khalifah yang dimaksud adalah khalifah dari
golongan jin yang diduga berbuat kerusakan. Asumsi ini berdasarkan
analisis ayat yang menerangkan bahwa jauh sebelum manusia diciptakan,
Allah telah menciptakan jin (Ibn-Katsir, Qishashul Anbiya’, hlm. 2).
Benar
bahwa jin (dan malaikat) diciptakan sebelum Adam berdasarkan Q.s.
al-Hijr: 26-27, namun apakah mereka—khususnya para jin—berperan sebagai
khalifah di muka bumi? Pendapat para sahabat tersebut tampaknya hanyalah
praduga saja. Lagi pula tidaklah mungkin bumi yang kasat mata ini
diwariskan kepada para jin yang tidak kasat mata. Bentuk pengelolaan
semacam apakah seandainya para jin yang berfungsi sebagai khalifah di
muka bumi ini.
Khalifah sebelum Adam dan khalifah yang
hendak diciptakan Allah ini adalah khalifah yang benar-benar berasal
dari golongan manusia. Perhatikan ayat berikut ini: Dan Dialah yang
telah menjadikan kamu khalifah-khalifah di bumi dan Dia meninggikan
sebahagian kamu atas sebahagian yang lain beberapa derajat, untuk
mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu
Amat cepat ‘iqab-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun dan Maha
Penyayang. (Q.s. al-An’am: 165).
Ayat tersebut kembali menegaskan
bahwa sesungguhnya Allah adalah pencipta para khalifah di muka bumi ini.
Kata ganti orang kedua (dhamir mukhatab) pada ja’alakum merujuk pada
seluruh umat manusia. Menilik pada keumuman lafadz ini, apabila
dikaitkan dengan pertanyaan malaikat tentang penciptaan khalifah, maka
khalifah sebelum Adam adalah khalifah dari golongan manusia juga. Ada
banyak “Adam-Adam” lain yang sebelumnya diciptakan Allah dengan fungsi
yang sama namun dengan karakter yang berbeda; destruktif. Adam dan
Instalasi al-Asma’.
Dengan mengorelasikan fakta-fakta arkeologis
tentang ragam manusia sebelum Homo Sapiens, tampaknya selaras dengan
karakter “destruktif” sebagai yang digambarkan malaikat. Namun, bukankah
karakter hominid memang demikian? Manusia-manusia tersebut mempunyai
struktur fisik yang hampir mirip manusia (kalau tidak ingin dikatakan
hampir mirip kera). Mereka tercipta dengan volume otak yang kecil yang
dengan sendirinya perilakunya pun cenderung tanpa tatanan manusiawi atau
bersifat kebinatangan. Mereka tidak layak disebut sebagai khalifah.
Sementara itu, khalifah mempunyai kedudukan yang terhormat sebagai
“duta” Allah untuk mengelola bumi ini.
Di sinilah letak
diskontinuitas itu. Ternyata, kita tidak bisa mengorelasikan fakta
sejarah manusia (asal mula manusia menurut para penganut evolusionisme)
dengan asal-usul Adam. Ada banyak keterserakan, sebagaimana yang
dideskripsikan Michel Foucault, diskontinuitas dipahami sebagai terserak
dan berkecambahnya sejarah ide-ide dan munculnya periode-periode yang
begitu panjang dalam sejarah itu sendiri. Dalam pengertian tradisional,
sejarah semata-mata selalu tertuju pada keinginan untuk menentukan
relasi-relasi kausalitas, determinasi sirkular, antagonisme dan relasi
ekspresi antara berbagai fakta dan kejadian yang terekam oleh manusia
(The Archeology of Knowledge, hlm. 10).
Keterserakan ini yang
menyangkut relasi-relasi kausalitas, determinasi sirkular, antagonisme
dan relasi ekspresi antara berbagai fakta dan kejadian yang terekam oleh
manusia. Celakanya, kita menganggap bahwa data-data historis tentang
bapak manusia itu dirasa cukup hanya dengan ditafsirkan oleh data-data
hadits yang sangat dipengaruhi oleh kisah-kisah israiliyat (Bible).
Seandainya kita hendak meneliti sejarah penciptaan ini, meminimalisasi
diskontinuitas dengan “comot sana comot sini” dari data-data Biblikal
bukanlah semangat Qur’anik. Bukankah sejak awal al-Qur’an diturunkan
untuk menyempurnakan kitab-kitab sebelumnya?
Dengan meneliti ayat
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah
menerima taubatnya. Sesungguhnya, Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang (Q.s. al-Baqarah: 37), suksesi khalifah yang tidak berdasarkan
kalimah Allah ke yang berdasarkan kalimah Allah barangkali yang paling
mendekati untuk mereka-reka praduga ini. Allah hendak mengganti khalifah
yang berperilaku destruktif yang tidak berdasarkan pada hukum-hukum
Allah dengan khalifah berperadaban yang berdasarkan pada hukum-hukum
Allah. Jadi, tegaslah bahwa para hominid itu bukan khalifah.
Namun
yang pasti, Adam bukanlah manusia pertama. Tampaknya Q.s. al-Baqarah:
30 menghendaki bahwa penciptaan khalifah berikutnya adalah untuk
mereformasi dan merehabilitasi “Adam-Adam” sebelumnya. Dengan kata lain,
Allah hendak mengganti khalifah perusak yang tanpa tatanan hukum Allah
itu dengan khalifah baru yang bernama Adam dan anak keturunannya kelak
yang berlandaskan tatanan hukum Allah.
Selanjutnya, proses
pembelajaran untuk khalifah baru ini segera dilakukan. Instalasi ini
adalah pembekalan pada diri Adam yang berupa persiapan diri untuk
menerima seluruh identifikasi nama-nama, al-asma’ kullaha. Kalimat
kullaha adalah penguatan (taukid) bahwa pengajaran al-asma meliputi
seluruh nama-nama atau identitas (al-musammiyaat) benda-benda (Tafsir
Zamakhsyari, Juz I, hlm. 30).
Sementara itu, Imam al-Qurthuby
menitikberatkan bahwa proses pengajaran al-asma’ adalah pengajaran dalam
bentuk dasar-dasar ilmu pengetahuan (Tafsir al-Qurthuby, Juz I, hlm.
279). Hal ini mengandung makna yang lebih dalam, bahwa Adam sudah
diperlengkapi dengan perangkat nalar yang siap untuk menerima seluruh
identifikasi nama-nama. Pengajaran bukanlah dengan mengajarkan
penyebutan benda-benda satu-persatu belaka, namun lebih pada
pengidentifikasian yang selanjutnya dikembangkan sendiri oleh Adam.
Adam-lah manusia rasional yang pertama.
Proses instalasi ini
dijadikan bekal Adam untuk diwariskan kepada anak cucunya dalam rangka
mengelola dunianya kelak. Instalasi al-asma’ adalah instalasi
sendi-sendi pengetahuan sehingga Adam mampu mengidentifikasi nama-nama
seluruhnya (al-asma’ kullaha). Faktor inilah yang mendorong manusia
untuk menjadi makhluk pembelajar—homo academicus. Adam mampu
mengidentifikasi dan mengembangkan daya nalarnya sampai pada tahap yang
mengagumkan malaikat. Sementara, malaikat tidak mempunyai pengetahuan
sedikit pun kecuali apa yang telah diinformasikan Allah kepada mereka,
subhaanaka laa ‘ilma lanaa illaa maa ‘allamtanaa. Inilah yang membuat
malaikat jatuh tersungkur karena ta’dzim kepada Adam akan pencapaian
kemajuan ilmiahnya.
Tampaknya, diskontinuitas sejarah
penciptaan Adam memang demikian adanya. Al-Qur’an—justru—hendak
menggerakkan hikmah di balik penciptaan itu untuk selalu terus menerus
berpikir dan menggunakan daya nalar manusia di bawah bimbingan hukum
Allah (kalimaatin) sebagaimana Adam meletakkan dasar-dasar budaya dan
peradaban di bawah bimbingan-Nya. Sementara itu, membicarakan Adam
sebagai tokoh sejarah (manusia pertama atau bukan) tidaklah substansial
dan tidak memberikan dampak apa-apa bagi peradaban itu sendiri.
Daftar Pustaka:
Kamus Bahasa Arab penerbit apolo surabaya halaman 224
Suara Muhammadiyah wawasan islam
Al-Jahiz
(1909), Kitab Al-Hayawan, Kairo, vol. I hal. 13; vol. VI hal. 133—34;
vol VI hal 139; vol. VII 47, 80; vol. VII, hal. 47-48.
Muhammad
Hamidullah and Afzal Iqbal (1993), The Emergence of Islam: Lectures on
the Development of Islamic World-view, Intellectual Tradition and
Polity, hal. 143-144. Islamic Research Institute, Islamabad.
Jalaluddin Rumi (2004), The Masnavi; Story:”The Vakil of The Prince of Bukhara”, Oxford University Press.
Farid Alakbari (2001), A 13-th Darwin? Tusi’s Views on Evolution. Azerbaijan International Magazine hal. 48.
Sumber:
https://www.facebook.com/note.php?note_id=150776644983758
Tidak ada komentar